KEDAI SASTRA


Kini aku sedang jauh darinya
Ku jauh dari pandangannya
Ku jauh dari kasih sayangnya
Ku sepi tanpa petuah-petuahnya

Ya Allah,
Teriring sejuknya desiran angin surgamu
Ku mohon dengan simpuh kelemahanku

Ya Allah,
 Dalam jauh aku tak pernah henti merindukannya
Dalam sepi ku tak pernah henti mengharapkan kehadirannya
Meski dalam mimpi sepi malamku

Ya Rabb,
Sampaikan bahwa kini ku begitu merindukannya
Katakan padanya ku ingin menangis dalam pelukannya
Jelaskan padanya ku ingin ceritakan segala keluh kesah dengannya

Ya Ilahi,
Jelaskan juga bahwa ku rindu belaian kasihnya
Ku rindu tatapannya,
tatapan mata penuh cinta seorang perempuan mulia

Ibu,
Tahukah kau, betapa kau adalah hidupku
Tahukah kau, betapa bahagiamu adalah bahagiaku
Tahukah kau, betapa tangismu adalah tangisku

Ibu,
Kurindukan usapan tanganmu
Untuk mengusap air mataku kini
Aku merasakan pedih tanpamu Ibu

Ibu,
Hanya padamu ku bisa ungkapkan segala resahku
Ku mencintaimu Ibu
Dengan segenap hatiku
Untukmu...

21 Desember 2011


Ya Allah...
Dengan jiwa yang tiada daya dan rapuh ini, dengan simpuh kelemahan, hamba bermunajah kepada-Mu yang Maha Agung.
Ya Allah...
Dalam rinduku yang singkat ini, mungkin tak kan bermakna jikalau sekedar hamba layangkan bersama angan-angan untuk seorang hamba-Mu yang hamba anggap istimewa dalam mata batin yang terbatas kemampuannya. Dalam cinta yang hina ini, mungkin tiada berharga jikalau sekedar untuk hamba sampaikan bersama dorongan syaitan yang berbisik teramat lirih dengan sejuta tipu dayanya. Dalam kesetiaan yang hamba agung-agungkan, mungkin hanya sekedar menjadi lisan yang terucap tanpa arti jikalau tidak hamba sandarkan pada setia kepada-Mu.
Wahai Dzat Yang Maha Mencinta...
Tiada rindu yang lebih indah dari rindu pada-Mu dan rindu karena-Mu, tiada cinta yang lebih suci dari cinta yang tumbuh dalam celah-celah hati yang kecil, tapi teramat dalam, cinta penghambaan kepada-Mu, tiada lisan yang paling tulus dari lisan yang terucap dengan menyebut nama-Mu.
Ya Rabb...
Teguhkan hati hamba ketika hamba mulai bimbang atas sesuatu, tunjukkanlah betapa dia makhluk terindah-Mu untukku, jika dia yang akan mampu menuntunku selalu di jalan-Mu, menopangku ketika lemah, meyakinkanku ketika gelisah, mengembalikanku ke dalam syariat-Mu ketika hamba goyah dan tanpa arah. Akan tetapi, buatlah jarak atasku pada seorang hamba-Mu, jikalau dia bukanlah sesosok hamba-Mu yang mampu meluruskan Islamku dalam tuntunan Al-Qur’an dan sunah Rasul-Mu, kikiskan tautan dua hati jikalau tak mampu lagi mengikatkanku dalam tali iman dan jihadku. Janganlah Kau biarkan diri ini memilih hanya karena dorongan keegoisan hati, dan peliharalah jiwa yang kerdil ini dari cinta yang semu, dari kubangan asa yang tak terbendung, yang hampir menenggelamkanku dalam lumpur kesesatan. Tak sepantasnya hamba-Mu yang hina ini bicara akan kesetiaan di kala hati hamba sendiri masih dalam kekotoran dan kelalaian terhadap cinta dan kasih-Mu.
Ya Ilahi Sang Pemilik Hati Manusia...
Tunjukkanlah kepada hamba-Mu yang tiada mengetahui ini, apa yang sebenarnya adalah benar, dan apa yang hanya sekedar tipuan.
Tetapkan hati yang lemah ini untuk selalu istiqomah di jalan-Mu.
Amiin...

Yogyakarta, 23/09/ 2011.


(SHORT STORY)


“Kita putus aja ya.”
Serasa tubuhku membatu seketika, bagaikan disambar petir salju di siang yang begitu teriknya.
“Semudah itu kamu memutuskan hubungan kita?”
“Aku nggak bermaksud memutuskan hubungan kita gitu aja, tapi kamu tahu sendiri kan, orang tuaku sangat menentang hubungan kita, bahkan katanya mereka sudah menyiapkan jodoh untukku.”
“Hah? Apa-apaan ini, kayak zamannya Siti Nurbaya aja. Sekarang ini sudah abad ke-21, bukan lagi zaman purba, primitif. Apa sih alasan orang tuamu, kenapa mereka nggak merestui hubungan kita?”
“Aku sendiri juga nggak tahu, tapi yang jelas mereka menginginkan aku berjodoh dengan wanita pilihan mereka.”
“Memangnya siapa perempuan yang dijodohkan denganmu itu?”
“Aku juga belum tahu, karena aku sendiri sebenarnya nggak mau tahu.”
“Kamu nggak berusaha mempertahankan hubungan kita, memohon supaya orang tuamu merestui hubungan kita, atau, gimana lah caranya?”
“Sudah berulang kali aku menjelaskan kepada mereka kalau aku sudah punya kamu, tapi mereka memaksaku berjodoh dengan perempuan yang aku sendiri belum kenal sama sekali.”
“Bukan menjadi alasan, bagiku, kamu tetaplah hanya seorang pecundang! Maaf, kalau selama ini aku juga belum pernah bisa menjadi pacar yang baik buatmu. Yah, mulai saat ini kita benar-benar telah putus, putus semuanya, putus hubungan kita! Selamat tinggal, Melvin.”
Sejak saat itu tidak ada lagi Melvin di hatiku. Hubungan kita benar-benar telah berakhir.
“Apa, kamu putus sama Melvin? Kok bisa?” tanya teman kuliahku di tengah-tengah istirahat kuliah. Hari ini merupakan hari pertama setelah aku tidak lagi berhubungan dengan Melvin.
“Apa sih yang nggak bisa di dunia ini? Apalagi sekedar aku putus sama Melvin.”
“Kamu sikapnya kayak gitu, berarti sebenarnya kamu ikhlas apa gimana sih?”
“Huh, aku nggak tahu, tapi yang jelas, aku sangat sakit, sakit sekali.”
“Itu berarti sebenarnya kamu nggak ikhlas.”
“Terus, apa yang bisa kulakukan kalau emang aku nggak ikhlas?”
“Ya, harusnya kamu nggak mau diputusin gitu aja, emangnya apa sih masalah kalian, masih masalah yang dulu itu, yang katanya orang tuanya Melvin nggak setuju?”
“Iya,” jawabku singkat.
“Kenapa nggak diperjuangin?”
“Duh, Rina, mauku juga gitu, tapi Melvin yang justru nyerah, orang dia yang mutusin aku tiba-tiba, ya, dengan alasan itu.”
Di tengah-tengah obrolanku dengan temanku yang bernama Rina, tiba-tiba pandanganku tertuju pada seseorang yang tengah berjalan beriringan, mahasiswi, dan, sangat mengejutkanku, di sampingnya adalah Melvin.
“Keterlaluan, jadi itu sebenarnya yang jadi penyebabnya!” aku tidak bisa menahan emosi, hingga temanku juga ikut terkejut.
“Kamu kenapa sih Ay?” tanya Rina masih keheran-heranan.
“Melvin Rin, lihat! Ternyata dia mutusin aku gara-gara cewek itu!”
“Mana? Oh, yang lagi jalan bareng Melvin itu? Masa sih, ah nggak deh, aku tahu kok siapa perempuan itu. Dia itu Fely, pacarnya Irvan, anak Hukum.”
“Kok kamu tahu, terus yakin banget juga. Ya, mungkin aja kan, nggak menutup kemungkinan, siapa tahu mereka menjalin hubungan di belakang si, siapa, Irvan, yah, pacarnya itu lah, kayak Melvin juga main hati di belakangku.”
“Ah, kamu jangan terus negative thinking gitu deh!”
“Tuh kan, mereka malah duduk berdua gitu, deket-deket lagi, keganjenan banget sih tu cewek!” hatiku panas, sakit sekali. Hingga tanpa pikir panjang aku bertindak seperti orang kesurupan, nggak sadar apa yang kulakukan. Seketika aku melihat seorang temanku melintas di depanku.
“Rizal!” aku memanggil lelaki itu, kemudian dengan sikap sok akrabku aku lantas menggandengnya. Sudah sepantasnyalah Rizal, yang rumahnya berada tepat di samping kosku itu tampak terkejut dan nggak mengerti dengan kelakuanku. Dia hendak melepas tanganku yang masih menggandengnya, tapi aku justru mempereratnya lagi. Kulihat Melvin sempat memperhatikanku, dan memang itu yang kuharapkan.
“Zal, tolong aku, jangan lepasin dulu tanganku, ntar aku jelasin deh.”
“Kamu ini kenapa sih Aya?”
Aku nggak mempedulikan sikap Rizal yang tampaknya semakin kesal denganku. Hingga akhirnya, ketika aku telah jauh dari Melvin, dan yakin bahwa Melvin sudah tidak melihatku lagi, aku lepaskan tangan Rizal. Aku hanya terdiam, lalu duduk di tempat duduk panjang, tempat yang biasa untuk duduk santai dan berbincang-bincang banyak hal. Aku semakin galau, hingga tanpa sadar aku menangis di depan Rizal. Rizal pun justru menjadi simpati denganku, lalu duduk di sampingku.
“Kamu kenapa sih Ay? Kok malah nangis? Apa gara-gara aku ya? Ya, maaf deh Ay, aku nggak maksud untuk bersikap kayak tadi, cuma aku sendiri bingung juga kenapa secara tiba-tiba kamu menggandeng tanganku, itu membuatku bingung, nggak jelas maumu apa?”
“Aku sakit Zal.”
“Kamu sakit? Sakit apa? Lantas apa hubungannya dengan sikapmu barusan yang aneh itu?”
“Yah, itu semua karena aku sakit, aku sakit hati.”
“Sakit hati? Sama siapa? Kalau kamu mau, kamu boleh cerita denganku, mungkin aku belum tentu bisa bantu, tapi mungkin saja dengan kamu cerita kamu bisa sedikit lega.”
“Aku sakit hati dengan Melvin, dia barusaja mutusin aku. Dan kamu tahu nggak, tadi aku tiba-tiba jadi sok akrab sama kamu itu karena kulihat Melvin sama cewek lain. Keterlaluan banget dia, baru kemarin dia mutusin aku, masa sekarang udah sama cewek lain.”
“Ya, mungkin dia itu cuma temen dari, mantan pacarmu itu.”
“Huh, semua orang bilang gitu, Rina juga. Emang nggak ada yang dukung aku.”
“Lho bukannya gitu, tapi kamu nggak bisa nuduh secepat itu, sebelum ada bukti.”
“Aku udah nggak perlu bukti lagi, toh emang kenyataannya sekarang aku udah nggak ada hubungan lagi dengannya. Bukti juga percuma, nggak penting.”
“Ya udah kalau itu yang terbaik buatmu.”
“Zal, aku boleh minta tolong nggak sama kamu?”
“Boleh aja, kalau aku bisa kenapa nggak?”
“Boleh nggak, kupinjam hati kamu?”
“Maksud kamu?”
“Kamu pura-pura jadi pacarku, cuma kalau ada Melvin aja. Apalagi kita kan tetanggan, dan Melvin juga sering lewat samping kosku dan rumahmu kalau dia mau pergi ke mana-mana.”
“Nggak, ide kamu itu konyol, maaf aku nggak bisa bantu kamu.”
“Kenapa Zal, aku cuma minta tolong itu aja, aku nggak minta kamu untuk benar-benar jadi pacarku.”
“Tapi itu semua bisa membuatku berada dalam posisi yang nggak enak! Aku juga punya pacar, dan aku nggak mau sampai pacarku melihat ketika kita pura-pura pacaran, terus dia salah paham dengan kita. Aku nggak mau semua itu terjadi. Maaf Ay, aku nggak bisa.”
“Rizal, pacarmu itu jauh, nggak satu kampus dengan kita, kosnya juga jauh dari kos kita, lagian kamu nggak perlu khawatir, aku juga pastinya akan cerita yang sebenarnya dengan pacar kamu. Percayalah Zal, hubungan kalian akan baik-baik aja. Tolong Zal, aku nggak tahu harus minta tolong sama siapa lagi.”
“Tapi apa pentingnya kamu berbuat seperti ini?”
“Aku nggak tahu. Tapi ya udah, kalau emang kamu nggak bisa bantu aku, mungkin aku ini emang naif, perbuatanku ini nggak masuk akal. Maaf, aku udah ngerepotin kamu,” aku menyerah dan bermaksud meninggalkan Rizal.
“Aya! Baiklah, aku mau bantu kamu. Aku mau pura-pura jadi pacarmu,” nggak tahu kenapa, akhirnya Rizal berubah pikiran.
“Beneran, kamu mau bantu aku? Tapi bagaimana dengan pacar kamu?”
“Kan kita cuma pura-pura, kalau beneran aku juga nggak mungkin mau lah.”
“Hem, iya iya, aku juga tahu kok. Tapi makasih banget ya, mau bantuin aku.”
Hari itu adalah hari pertama kupinjam hati Rizal, teman kuliahku satu jurusan, yang juga merupakan tetangga rumahku. Aku tahu, sebenarnya ini sangat nggak adil untuk Rizal, dia seakan-akan mempertaruhkan hubungannya dengan kekasihnya, hanya demi membantuku melaksanakan misiku, misi yang sebenarnya sangat konyol ini.
Kini aku telah kembali ke rumahku, begitu juga semuanya telah meninggalkan kampus biru dengan tujuan-tujuan mereka masing-masing, karena perkuliahan memang telah usai untuk hari itu.
Hari semakin gelap, hewan-hewan malam mulai berebut menjemput malam yang dingin, namun tetap berisik dengan semua aktivitas para penghuninya, apalagi malam itu adalah malam Minggu, malam yang biasa dianggap spesial, karena esoknya adalah hari untuk mengistirahatkan diri, malam yang juga dianggap spesial karena dijadikan sebagai malam berlibur bersama pasangannya masing-masing. Sedangkan aku, aku benar-benar bagaikan sesosok manusia yang merasa sepi di tengah keramaian.
Akhirnya, Minggu pun benar-benar kembali datang. Secercah cahaya putih itu mulai menyusup di antara celah-celah jendela kamarku. Kulihat, ternyata jam telah menunjukkan pukul enam pagi, akan tetapi aku masih sangat malas untuk mengangkat tubuhku.
Ah, kuputuskan untuk membuka jendela kosku. Tuhan, ada yang mengejutkanku, membuatku mulai kehilangan akal. Yah, kulihat dari lantai dua kos, di mana kamarku berada, Melvin melintasi samping kos. Dengan spontan, aku justru memanggil Rizal.
“Rizal! Ayo, kita lari pagi!” teriakanku lumayan keras, aku yakin Melvin pasti mendengarnya. Tapi yang membuatku sangat kesal, ternyata dia tidak mempedulikanku.
“Rizal.....!” kupanggil lagi tetangga kosku itu.
“Iya,” akhirnya, sahutan singkat Rizal terdengar juga. Dia melongok di balik jendela kamarnya, melihat menuju kamarku. Aku berikan isyarat bahwa Melvin barusaja melintas di samping kos.
Aku dan Rizal pun lari pagi bersama, dan sengaja mengekor di belakang Melvin. Entah, seorang Aya benar-benar semakin tidak jelas apa diinginkan.
“Sayang, kita mau lari seberapa jauh?”
“Sampai kita capek Rizal cintaku.”
“Wah, bisa-bisa nggak berhenti-berhenti kita larinya, soalnya capekku langsung hilang begitu lihat kamu.”
“Ah, kau ini ada-ada aja. Ya udah, kita lari seputaran kompleks sekali lagi terus istirahat ya.”
“Iya Sayang,” sahut Rizal masih sok mesra. Sesekali kuperhatikan Melvin menengok ke belakang, kulihat jelas, dia memperhatikan tingkahku dengan Rizal.
“Melvin, sesungguhnya bukan ini yang kuinginkan, tapi kamu yang memulai.”





Bersama sunyinya malam ini, aku semakin enggan untuk meninggalkan laptopku, dan melepaskan jemariku dari sentuhan tutz-tutz pada keyboard. Dalam keheningan, aku hanya ditemani detak-detak jarum jam yang semakin mengantarkanku dalam larutnya malam. Aku mulai merasakan lelahnya dan sepinya dunia, sesepi hatiku yang masih setia dengan kesendirianku, yah, kesendirianku selama tiga tahun ini, menunggu sesosok manusia yang semakin tidak ada kepastiannya. Kupikir, aku tidak harus selamanya menunggu akan datangnya bintang di siang hari, menunggu sesuatu yang kini sudah kuanggap lagi mustahil untuk terwujud. Semakin tak terasa, aku semakin larut dalam asyiknya jalan cerita dari novel ini. Novel yang kutulis sudah hampir sebulan lamanya, sebagai penawar rinduku kepada pangeranku yang kini bagiku dia telah hilang.
Di sela-sela kumenulis, akhirnya kuputuskan untuk memutar radio, mungkin saja ada yang bisa memberikan sebuah inspirasi untukku menemukan ending dari novel ini, karena yang dapat kutuliskan hanya cerita-cerita yang belum juga kutemukan pasti endingnya.
“Dinda, kau belum juga tidur sudah selarut ini?” ibuku yang terbangun dari tidurnya menghampiriku.
“Iya Bu, masih tanggung kalau Dinda harus tidur sekarang.”
“Kamu menulis apa sih?”
“Dinda menulis novel Bu, dan sekarang ini sedang mencari ending dari novel ini. Sebelum Dinda temukan endingnya, Dinda nggak akan bisa tidur nyenyak.”
“Kamu ini, kalau sudah ketagihan menulis, nggak pernah mau dihentikan oleh siapa pun.”
“Habisnya Dinda nggak mau menyia-nyiakan apa yang sudah ada di otak Dinda, kalau ditunda-tunda, nantinya bisa hilang semua yang sebelumnya sudah terkonsep.”
“Memangnya besok nggak ada kuliah?”
“Ada sih Bu, tapi itu bukan menjadi masalah buat Dinda, Dinda akan berusaha untuk dapat menjalankan semuanya secara seimbang.”
“Ya sudah kalau memang itu mau kamu, Ibu cuma bisa mendukung apa yang terbaik buatmu,” kata ibuku lalu kembali menuju kamarnya, melanjutkan mimpinya yang terputus, karena mendengar suara radio yang barusaja kunyalakan, yah, mungkin saja seperti itu.
Kini, aku sendiri lagi. Masih berusaha menemukan ending dari novelku yang belum juga kutemukan, meski malam akan semakin larut, diiringi dengan hawa malam yang semakin menusuk hingga ubun-ubun. Aku harus menemukan ending dari cerita ini, yah, malam ini, karena besok adalah deadline untukku memberikan naskah novel kepada Mas Doni. Ya Tuhan, bantu aku untuk mengakhiri cerita ini!
“Kutemukan penggantimu.....” tiba-tiba aku tertarik dengan potongan lirik lagu dari Lyla Band yang sedang diputar di salah satu chanel radio.
“Kriiing.....” bersamaan dengan itu juga, dering ponselku berbunyi.
“Hallo.... Mas Doni, belum tidur Mas sudah malam begini?”
“Kamu sendiri juga belum tidur Din? Pasti gara-gara aku ya? Hem, maksudnya gara-gara deadline novel itu?”
“Oh, nggak kok Mas, memang Dinda baru ada ide untuk menulis saja, daripada yang sudah terkonsep di otak Dinda hilang semua, lebih baik Dinda pergunakan sebaik mungkin, yaitu untuk menulis, meneruskan novel Dinda yang untuk deadline besok.”
“Tuh kan, benar karena dikejar deadline? Ya jangan dipaksa lah Din, kasihanilah dirimu sendiri, nggak baik lho perempuan sudah larut malam belum tidur.”
“Memangnya kenapa? Kok cuma perempuan yang nggak baik tidur larut malam? Kalau laki-laki terus gimana? Mas Doni saja juga belum tidur?”
“Iya Din, ada yang mengganjal di hati Mas.”
“Apa itu?”
“Sebenarnya nggak pantas sekali kalau Mas bicara di telepon.”
“Kenapa sih Mas, ada apa? Biasa saja, dengan Dinda ini, kayak dengan siapa aja?”
“Benar nih, Mas nggak apa-apa kalau bicara di telepon?”
“Nggak apa-apa Mas, silahkan bicara, Dinda dengarkan dengan sebaik-baiknya.”
“Kamu memang sangat baik Din, tapi kenapa Mas nggak pernah melihat kamu dekat dengan seseorang, yah, siapa gitu?”
“Maksudnya?”
“Din, Mas boleh tanya?”
“Boleh lah Mas, mau tanya saja kenapa mesti izin dulu?”
“Hem, Dinda apa sudah memiliki seseorang sebagai sandaran hati?”
“Oh, maksudnya kekasih kah?”
“Iya, itu yang kumaksud.”
“Dinda masih belum menemukan ending dari novel yang sedang Dinda tulis ini Mas, jadinya Dinda sendiri juga belum tahu, apa yang harus Dinda putuskan.”
“Maksud Dinda apa?”
Aku terdiam, tetapi tidak lama. “Hem, begini Mas, sejak tiga tahun yang lalu, hingga saat ini, sebenarnya Dinda masih menunggu seseorang yang berjanji akan kembali. Tapi mungkin ini semua hanya ketololan Dinda saja, ketololan menunggu seseorang yang seharusnya tidak pantas untuk ditunggu. Bahkan, sebenarnya Dinda sendiri tidak tahu, apakah masih mencintainya atau hanya ingin disebut sebagai perempuan yang benar-benar memiliki kesetiaan yang teguh. Keputusan inilah yang akan Dinda jadikan ending dari novel Dinda.”
“Memangnya siapa yang kamu tunggu itu? Dia sekarang ada di mana?”
“Dia adalah seseorang yang dulu dekat dengan Dinda, tapi karena dia harus melanjutkan studinya di Mesir, maka kita harus berpisah. Tapi, selama tiga tahun dia berada di Mesir, hanya pada awal kepergiannya dia masih memberikan kabar, setelah itu, tidak pernah lagi.”
“Lantas, sebenarnya saat ini perasaanmu sendiri ke dia bagaimana?”
“Dinda sendiri nggak tahu Mas. Terkadang Dinda ingin sekali terlepas dari janji Dinda yang akan setia menunggunya sampai dia kembali, tapi Dinda nggak ingin mengingkari janji yang Dinda ucap sendiri.”
“Jadi sekedar itu?”
“Apa Dinda salah, jika akhirnya Dinda tidak bisa benar-benar menjaga janji Dinda, setelah lelaki yang paling Dinda harapkan sudah nggak pernah ada kabarnya lagi?”
“Nggak Dinda, kamu nggak salah. Kamu berhak menentukan hidupmu sendiri. Ku rasa, sebenarnya kamu sudah tidak memiliki perasaan yang sama seperti dulu dengan lelaki itu.”
“Namanya Agung Mas.”
“Yah, Agung atau siapa lah, nggak penting buat Mas. Yang terpenting buat Mas adalah kebahagiaan untuk Dinda. Hem, Din, kamu tahu nggak, Mas hanya ingin selalu melihat Dinda bahagia dan selalu tersenyum, karena, Mas sayang sama Dinda.”
“Maksud Mas Doni?”
“Begini Din, sebenarnya yang Mas maksudkan ingin menelepon Dinda tadi adalah niat Mas untuk, untuk melamar Dinda.”
Jelas aku sangat terkejut mendengar pernyataan Doni yang begitu jujurnya mengutarakan niatnya. “Apa Mas? Dinda nggak salah dengar?”
“Nggak Din, kamu nggak salah dengar. Mas benar-benar serius ingin melamarmu, yah, tapi itu semua juga kalau Dinda bersedia menikah dengan Mas. Din, mungkin pernyataan Mas ini mengejutkan Dinda, tapi Mas rasa kita sudah saling mengenal satu sama lain dengan baik, Mas sudah tahu sifat-sifat Dinda, begitu juga dengan Dinda, jadi Mas rasa kita nggak perlu lagi bersikap seperti anak ABG yang masih suka pacaran, sekedar bersenang-senang.”
“Tapi kita masih sangat sedikit saling mengerti Mas, apa tidak terlalu cepat hal ini diputuskan?”
“Kamu nggak harus menjawabnya sekarang Din. Yang terpenting adalah Mas sudah mengutarakan niat Mas. Dinda boleh menjawabnya besok, lusa, atau kapan pun, ketika Dinda sudah siap memberikan jawaban Dinda.”
“Baik Mas, berikan Dinda waktu hingga besok, Dinda akan berikan jawabannya,” jawabku mengakhiri telepon.
Dalam detik-detik malam yang sudah hampir merengkuh pagi, aku semakin larut dalam kegelisahanku. Mas Doni, dia adalah sosok pria yang sangat baik, aku bisa nyaman setiap dekat dengannya. Tapi, apakah ini bisa disebut dengan cinta? Dan, bisakah aku menikah dengan seseorang tanpa didasari adanya cinta? Apa sebenarnya makna dari cinta itu sendiri? Oh Tuhan, bantu aku menemukan ending dari cerita ini! Aku merebahkan tubuhku yang terasa lelah, namun belum ada hasrat untuk mengistirahatkan raga yang semakin layu ini.
Yah, cinta. Cinta bukanlah sekedar kata-kata yang dapat diucapkan tanpa dimaknai. Kini aku menemukan makna dari cinta itu. Makna cinta itu, aku temukan dari sesosok lelaki yang bernama Doni, salah seorang publisher novel yang telah mempublikasikan beberapa novelku. Bagiku, cinta bukanlah suatu perasaan yang hanya dapat diungkapkan dengan kata-kata, tetapi, cinta adalah kebahagiaan, kebutuhan, ketergantungan, dan yang terpenting adalah kasih sayang yang memberikan dorongan seseorang menginginkan yang dicintainya selalu bahagia. Benar, ini cinta. Aku telah menemukan cinta dalam diri Mas Doni.
Akhirnya, kutemukan ending dari cerita novelku, yang di dalamnya merupakan kisah dalam percintaanku yang pilu, namun kini berakhir bersama kisah yang baru.
Esok hari, setelah dua jam kupejamkan mataku, sayup-sayup sinar mentari memasuki tempat peraduanku. Ada secercah sinar harapan yang seolah-olah menyapaku.
“Dinda, bangun Nak! Kamu tahu tidak, siapa yang menunggumu di ruang tamu?”
“Siapa Bu? Mas Doni?”
“Kok Mas Doni? Wah, kamu ini, saking semangatnya dengan novelmu jadi yang diingat Nak Doni terus.”
“Memangnya siapa Bu yang sudah menunggu Dinda?”
“Seorang tamu spesial yang pasti akan membuatmu sangat bahagia hari ini. Dia kembali setelah selama tiga tahun meninggalkan Indonesia.”
“Maksud Ibu, yang datang adalah Agung?”
“Iya Nak, kamu pasti senang kan? Sesampai di Indonesia, yang pertama kali dia tuju adalah kamu. Setelah dia sampai di rumahnya tadi malam, pagi ini langsung ke sini karena ingin menemuimu. Ya sudah, sekarang kamu cuci muka, ganti baju, dan temui dia!”
“Baik Bu.”
Tuhan, apa lagi yang Kau rencanakan dengan semua ini? Akan kah Kau kembali menguji kesetiaanku yang telah memutuskan untuk memilih Mas Doni? Memang, aku belum menjawab lamaran Mas Doni, tapi secara sepihak aku telah memutuskan untuk menerima lamarannya, dan hari inilah waktu di mana aku akan menerima lamaran Mas Doni itu.
Dengan langkah galau, akhirnya kutemui Agung, tamuku yang sempat amat kutunggu.
“Agung, akhirnya kau kembali juga ke Indonesia.”
“Iya lah Din, pastinya, kan di sini ada yang kutinggalkan, seorang gadis terindah yang paling setia menungguku.”
“Gung, bagaimana jika gadis itu telah mengingkari janjinya? Apa kamu akan mengatakan bahwa gadis itu tidak lagi setia?”
“Maksudmu?”
“Selama tiga tahun kamu di Mesir hanya awal ketika kamu pergi saja kamu masih sempat mengirimkan kabar, setelah itu nggak pernah ada kabar lagi darimu. Kamu tahu apa yang kurasakan? Aku benar-benar tersiksa, tanpa kejelasan, bagaikan seonggok semak yang terabaikan.”
“Maafkan aku Dinda, aku banyak sekali kesibukan yang mengharuskanku untuk serius dalam mengerjakannya, yah, semua ini juga karena aku ingin cepat kembali ke Indonesia, yaitu untuk bertemu kamu tentunya.”
“Tidakkah ada waktu semenit saja untukmu sekedar memberi kabar? Itu sangat berat untuk kuterima.”
“Lantas aku harus bagaimana Dinda?”
“Nggak ada, kamu nggak perlu melakukan apa pun. Sebenarnya kamu sendiri nggak salah, tapi, aku yang salah.”
“Kenapa bisa seperti itu? Apa maksudmu?”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Agung. Hingga akhirnya pintu rumahku diketuk oleh tamuku yang kedua.
“Mas Doni,” sapaku kepada tamu yang kedua itu.
“Dinda, apa aku mengganggu?”
“Nggak Mas, justru Mas Doni datang pada waktu yang tepat. Mas, perkenalkan, dia Agung, ternyata dia kembali ke Indonesia, dan sampai pada malam tadi, lalu dia ke rumahku pada saat bersamaan aku ingin memberikan jawaban dari pertanyaan Mas Doni tadi malam.”
“Oh, kalau begitu, sepertinya aku sudah tahu jawabannya.”
“Benarkah?”
“Yah, mungkin.”
“Apa Mas Doni tahu, kalau jawaban yang ingin Dinda sampaikan adalah,.....” Dinda menghela nafas, lalu melanjutkan ucapannya. “Apa Mas Doni tahu, kalau jawabanku dari pertanyaan Mas tadi malam adalah, Dinda bersedia menikah dengan Mas Doni.”
Semua yang mendengar pernyataanku serentak terkejut, terutama Agung, dan tidak ketinggalan adalah ibu yang mendengarkan percakapan kami dari ruangan sebelah.
“Benarkah Dinda?”
“Iya Mas. Dan, perlu Mas tahu, ini semua bukan karena Dinda ingin membalas sakit hati, tapi karena Dinda menyadari, bahwa selama ini Dinda memang nggak bisa terlepas dari Mas Doni, Dinda butuh Mas Doni yang kelak Dinda harapkan dapat menjadi imam Dinda.”
“Tapi Din, bukankah kamu dulu berjanji akan menungguku sampai aku kembali? Sekarang aku sudah kembali untukmu, tapi mana janjimu?” sela Agung.
“Agung, maafkan aku, aku memang bersalah karena ingkar dengan janjiku sendiri. Tapi, kamu nggak pernah tahu bagaimana deritaku menunggumu selama tiga tahun dengan tanpa kejelasan darimu? Sekarang, telah kutemukan penggantimu, tidak ikhlaskah kau?”
Agung memang sangat sedih, tapi ternyata dia adalah lelaki yang cukup bijaksana. “Dinda, ya, aku tahu deritamu. Ini semua adalah ketololanku yang nggak bisa menghargai betapa besar dan sucinya perjuanganmu dalam mempertahankan cinta kita, tapi aku tak menghiraukannya. Sekarang, kamu pantas bahagia Din, bahagia bersama lelaki yang paling tulus mencintaimu. Semoga dia yang akan menjadi imam terbaikmu.” Agung memeluk Doni sebagai tanda persaudaraan antara keduanya mulai saat ini.
Tuhan, syukurku pada-Mu, Kau hadirkan jodoh untukku, pendamping dalam menjalani kehidupan, yang insya Allah akan menjadi imamku untuk menapaki jalan-Mu.