KOGNISI
Kognisi, Berpengaruh dengan Moralitas?
Dalam psikologi, kognisi merupakan proses manusia untuk mendapatkan pengetahuan dengan melalui proses menginderai, mempersepsi, mengingat, dan menggunaan akal untuk berpikir, memutuskan, dan memilih. Sedangkan moralitas sendiri secara umum dapat diartikan sebagai kapasitas untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, serta yang baik dan yang buruk, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang baik dan benar, dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar norma yang berlaku.
Dari definisi antara kognisi dan moralitas, jelas terlihat adanya kesinambungan peran antara keduanya. Kognisi merupakan pemanfaatan akal untuk mendapatkan pengetahuan, sedangkan moralitas pun memanfaatkan akal untuk memilih antara yang benar dan baik dengan yang salah dan buruk. Maka, secara normal dan sewajarnya, ketika seseorang memiliki tingkat kognisi yang tinggi, secara otomatis juga memiliki moralitas yang baik, karena dia memiliki kemampuan untuk berpikir rasional tentang benar atau salah, baik atau buruk. Akan tetapi, salah satu masalah besar di Indonesia sendiri adalah banyaknya orang-orang yang cerdas secara kognisi namun “collapse” dalam tingkat moralitas. Korupsi, tindak kriminalitas, penganiayaan di mana-mana, mulai dari warga desa, hingga para pejabat yang katanya “wakil rakyat”, namun pada kenyatannya justru menjadi “lintah rakyat” yang siap untuk menghisap setiap kehidupan rakyatnya. Lantas, apakah sebenarnya yang salah dalam pendidikan di Indonesia?
Kognisi dan moralitas, keduanya sama-sama memanfaatkan potensi akal. Secara berpikir rasional, memang kognisi sangat mempengaruhi moralitas. Akan tetapi, bagaimana jika kecerdasan kognisi justru digunakan untuk berpikir sebaliknya, berpikir dengan cara menekankan keuntungan pribadi, dan bagaimana pula jika hakekat benar atau salah, baik atau buruk sudah tidak lagi menjadi konsumsi berpikir otak manusia? Bagaimana pula, jika kognisi justru dimanfaatkan manusia dalam berpikir yang simpel dan cenderung pragmatis? Sebuah pertanyaan besar bagi Indonesia, “Kapankah pendidikan di Indonesia akan benar-benar mewujudkan cita-cita yang sesungguhnya yaitu terwujudnya pendidikan yang dapat mengembangkan potensi diri peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara?” Salah satu masalah terbesar sebagai dampak dari kegagalan pendidikan di Indonesia adalah maraknya korupsi di Indonesia. Hampir setiap berita tidak pernah sepi dari berita tentang korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara. Sangat ironis memang. Korupsi merupakan salah satu contoh dari banyak kasus tentang ketidakseimbangan antara pemanfaatan kognisi sebagai alat pertimbangan moralitas. Teori yang menyebutkan bahwa “Kognisi Mempengaruhi Moralitas” memang benar adanya, akan tetapi dalam hal ini kognisi hanya sebagai alat untuk mempertimbangkan dan memilih mana yang benar dan mana yang salah. Jadi, ketika tingkat intelegensi seseorang tinggi, secara otomatis akan menumbuhkan moralitas yang baik pula. Akan tetapi, jika ada orang-orang yang tingkat intelegensinya tinggi namun moralitasnya rendah, itu merupakan ketidakmampuan akal orang-orang tersebut dalam memanfaatkan kognisi sebagai pertimbangan dalam bermoral. Namun, dalam hal ini pengembangan kognisi supaya dapat dijadikan sebagai alat memikirkan tentang hakekat baik dan buruk, benar dan salah, untuk dapat diwujudkan dalam amalan yang nyata juga tidak boleh terlepas dari adanya upaya pembiasaan dan pembudayaan, dan penanaman modal sosial serta modal budaya dalam setiap jiwa peserta didik.
Tragisnya Kesenjangan Sistem Evaluasi Pendidikan Indonesia
TRAGISNYA KESENJANGAN SISTEM EVALUASI PENDIDIKAN INDONESIA
(Dampak pemberlakuan Ujian Nasional)
Tragis, Indonesia kini telah menjelma bak suatu negara yang menzalimi bangsanya sendiri. Bagaimana tidak, ketidakadilan di mana-mana, dan yang terparah adalah ketidakadilan dalam sistem pemerataan dan pemaknaan pendidikan di Indonesia yang kini memberikan dampak terhebat, yaitu hilangnya kaum intelek yang memiliki kecerdasan kognisi dan afeksi secara seimbang. Permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia semakin merongrong, dan belum juga teratasi. Salah satu masalah terbesar yang masih menjadi momok yaitu kurang tepatnya sistem evaluasi yang dipilih Indonesia. Evaluasi pendidikan Indonesia yang disebut dengan Ujian Nasional yang lebih sering disingkat dengan UN, yang sebenarnya merupakan sistem evaluasi impor dari negara luar sesungguhnya menjadi salah satu wujud ketidakadilan sistem evaluasi pendidikan nasional Indonesia. Fenomena UN sebagai penyeragaman evaluasi seluruh Indonesia tidak memperhatikan bahwa setiap daerah di Indonesia tidaklah sama keadaannya, baik keadaan SDM maupun SDA-nya. Bagaimana mungkin, dengan situasi dan kondisi yang berbeda kuantitas maupun kualitasnya harus mengikuti satu sistem evaluasi yang diseragamkan?
Evaluasi dalam pendidikan memang mutlak penting, yaitu sebagai sebuah pengukuran akan keberhasilan kompetensi pembelajaran yang telah diajarkan di sekolah. Akan tetapi, keadaan yang ada di Indonesia bukanlah memberlakukan sistem evaluasi yang disesuaikan dengan materi dari sekolah. Ibarat kata, Indonesia adalah pasien yang dipaksakan untuk menelan pil pahit yang tidak sesuai dengan kondisi kesehatan dari pasien tersebut. Alhasil, keadaan yang ada justru sebaliknya, penyakit yang ada semakin bertambah parah, bukan menyembuhkan, seperti halnya kondisi pendidikan di Indonesia.
Pendidikan dan fasilitas yang diperoleh antara sekolah yang satu dengan yang lainnya tidak lah sama, apalagi antara sekolah-sekolah di daerah perkotaan dengan sekolah-sekolah di daerah terpelosok. Adilkah, jika harus mengikuti evaluasi yang diseragamkan? Pemerintah seharusnya tidak lepas perhatian akan masalah ini. Sebelum diberlakukan penyeragaman evaluasi pendidikan dengan UN, pemerintah seharusnya terlebih dahulu menyeragamkan SDM maupun SDA untuk setiap sekolah. Ketakutan akan gagal UN juga menimbulkan banyak hasrat untuk menghalalkan segala cara demi kelulusan dalam UN. Kecurangan di mana-mana, bahkan UN dijadikan sebagai ladang provit bagi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, yaitu dengan memberi bocoran terhadap soal-soal UN dengan mematok tarif tertentu.
Keadilan sistem evaluasi dengan UN jelas sangat dipertanyakan. Adilkah, nasib perjuangan selama 6 tahun untuk SD, atau 3 tahun untuk SMP dan SMA, bergelut dengan banyaknya kompetensi dasar yang harus dikuasai, hanya ditentukan oleh beberapa mata pelajaran, dalam beberapa jam saja. Adilkah juga, seorang anak yang berprestasi harus ada yang gagal UN hanya karena kurang beruntungnya dia, yang mengalami kondisi kurang baik ketika mengikuti UN? Evaluasi pendidikan yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia kini berbalik menjadi momok yang justru menurunkan mentalitas para pelajar yang dampaknya akan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.